JAKARTA, KOMPAS – Berbagai kalangan dari masyarakat sipil menggugat kebijakan eksploitasi benih bening lobster (puerulus) yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemerintah menetapkan kuota benih bening lobster yang boleh dieksploitasi dan diekspor sebanyak 419.213.719 ekor atau 90 persen dari estimasi stok benih.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai kebijakan ekspor benih bening lobster yang dibuka kembali menunjukkan minimnya akuntabilitas pemerintah.
Penetapan potensi benih dan kuota tangkapan benih menggunakan basis data yang sepihak dari pemerintah, tanpa melibatkan unsur masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat yang pro nelayan dan pembudidaya, serta akademisi. Publik sulit diharapkan percaya dengan penjelasan pemerintah karena akurasi dan validitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Busyro menilai persoalan ekspor benih bening lobster pernah disikapi dengan baik oleh pemerintah melalui kebijakan larangan ekspor benih pada 2015-2019. Namun, dibukanya kembali kebijakan ekspor benih bening lobster pada tahun ini secara tidak transparan, sepihak, dan tanpa ada kesempatan masyarakat untuk memberikan data komparatif menunjukkan langkah mundur.
”Demokratisasi seharusnya dilakukan dalam bentuk kebijakan-kebijakan publik. Namun yang terjadi proses demokrasi sudah sekarat. Publik sangat patut meragukan kebijakan benih bening lobster,” ujar Busyro, yang juga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010-2011, saat dihubungi, Minggu (14/4/2024).
Buka tutup
Aturan buka-tutup ekspor benih bening lobster telah beberapa kali dilakukan. Catatan Kompas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah menutup keran ekspor benih bening lobster pada 2015-2019, lalu membukanya lagi pada Mei 2020.
Namun, pada 26 November 2020, KKP menutup sementara ekspor benih bening lobster menyusul kasus suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Pada tahun 2021, KKP menetapkan larangan ekspor benih bening lobster. Namun, tahun ini, lagi-lagi KKP membuka kembali izin ekspor.
Sejalan dengan kebijakan membuka kembali keran ekspor benih bening lobster, KKP menetapkan kuota penangkapan benih bening lobster. Ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2024 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Kuota Penangkapan Benih Bening Lobster yang ditetapkan 1 April 2024.
Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Mulyana menyatakan, kuota penangkapan benih bening lobster sebanyak 419,21 juta ekor merupakan agregat keseluruhan jenis lobster.
Penetapan 90 persen dari estimasi stok benih ini merupakan rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Komnas Kajiskan memberikan tiga opsi, yakni jumlah tangkapan yang diperbolehkan benih bening lobster sebesar 50 persen, 70 persen, atau 90 persen.
”Angka JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) ini masih aman karena di bawah estimasi total (potensi benih),” ujar Ridwan.
Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), Indra Jaya mengemukakan, data estimasi potensi benih bening lobster bersumber dari hitungan jumlah lobster dewasa, bukan dari hasil pendataan langsung benih bening lobster.
Oleh karena itu, diperlukan validasi silang (cross-validation) antara hasil estimasi yang diturunkan dan data observasi lapangan. ”Perlu ada pendataan langsung dan sistematis di lapangan (laut) di seluruh wilayah pengelolaan perikanan,” katanya.
Indra juga mengakui, kuota penangkapan benih bening lobster itu merupakan angka agregat. Sementara, pemanfaatan benih lobster untuk budidaya selama ini terbatas pada spesies lobster pasir dan mutiara.
Apabila dirinci per spesies, benih bening lobster jenis pasir dan mutiara totalnya sekitar 30 persen dari estimasi potensi benih. Adapun spesies lainnya di luar pasir dan mutiara sekitar 70 persen, “Proporsi penangkapan untuk benih lobster pasir dan mutiara itu sudah diinfokan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya. (Kompas.id, 8/4/2024).
Ancam keberlanjutan
Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019, Susi Pudjiastuti, dalam Forum Nelayan, beberapa waktu lalu, mengemukakan, visi misi presiden masih sama hingga kini, yakni menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Pilar utama mencapai visi itu adalah kedaulatan, keberlanjutan sumber daya, dan kesejahteraan pelaku usaha perikanan.
”Laut harus kita miliki, harus kita kuasai. Tanpa kedaulatan, percuma saja mau merencanakan apa pun karena orang lain menguasai sumber daya kita,” ujarnya.
Susi menyoroti penangkapan dan jual-beli benih bening lobster ke luar negeri. Pengambilan plasma nutfah itu mengancam keberlanjutan sumber daya lobster. Ironisnya, pelaku jual-beli benih ditengarai kerap menyogok oknum aparat, tokoh, politisi, dan akademisi untuk membenarkan penangkapan dan jual beli benih lobster.
”(Oknum) banyak dipakai untuk membenarkan mafia- mafia perikanan menguasai sumber daya alam kita yang luar biasa,” ujarnya.
Penasihat Himpunan Budidaya Laut Indonesia (Hibilindo), Effendy Wong, mengungkapkan, dibukanya keran ekspor benih lobster dan penetapan harga patokan benih Rp 8.500 per ekor akan membuat budidaya lobster di Indonesia jalan di tempat. Pembudidaya usaha pembesaran lobster akan semakin sulit mendapatkan dan menjangkau harga benih.
”Meskipun pemerintah mengklaim lobster sebagai komoditas unggulan budidaya, kebijakan yang dihasilkan justru membuat budidaya lobster semakin sulit berkembang. Pemerintah seakan-akan mendorong negara pesaing lobster bisa lebih maju,” kata Effendy, pekan lalu.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengemukakan, dibukanya penangkapan benih bening lobster besar-besaran untuk tujuan ekspor merupakan paradoks kebijakan perikanan serta bertolak belakang dengan target yang diusung pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai sentra lobster dunia. Sementara jutaan pembudidaya lobster menggantungkan hidupnya dari ketersediaan benih bening lobster.
”Usaha pembesaran lobster di Indonesia akan kalah bersaing dengan aktivitas eksploitatif benih bening lobster yang disponsori pemerintah. Eksploitasi benih lobster juga mengancam kesejahteraan nelayan penangkap benih dalam jangka panjang,” kata Halim.
Lobster merupakan satu dari lima komoditas unggulan perikanan budidaya yang diusung KKP dalam program kerja berbasis ekonomi biru. Di samping lobster, komoditas unggulan budidaya laut lainnya adalah udang, rumput laut, nila salin, dan kepiting.
Wakil Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana, mengemukakan, kuota penangkapan sebesar 90 persen dari estimasi potensi benih bening lobster telah mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Prinsip atau pendekatan batas maksimal sumber daya alam yang dapat ditangkap (MSY) selama ini berlaku maksimal 80 persen. Kuota tangkapan yang sangat besar itu berpotensi disalahgunakan untuk eksploitasi besar-besaran benih lobster pasir dan mutiara.
Ia juga menyoroti angka estimasi potensi benih bening lobster yang bersumber dari asumsi dan bukan berdasarkan hasil riset riil di lapangan. Data berbasis asumsi dinilai tidak menggambarkan kondisi terkini karena data yang dipakai data lama. Kerancuan data potensi benih dan eksploitasi benih lobster dinilai berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya lobster di Indonesia.
Data FishStat Organisasi Pangan Dunia (FAO) 2024 menunjukkan ketergantungan Vietnam pada pasokan benih bening lobster asal Indonesia untuk budidaya lobster di negara tersebut. Pada 2020, saat ekspor benih lobster dibuka, sekitar 95,86 persen impor benih bening lobster bersumber dari Indonesia. Adapun pada tahun 2019 dan 2021 saat ekspor benih dilarang, benih lobster itu masuk ke Vietnam lewat Singapura.
“Kebijakan pemerintah membolehkan kembali ekspor benih bening lobster sangat keliru, karena malah meningkatkan pasokan benih lobster ke Vietnam,” ujar Suhana, akhir pekan lalu.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/04/15/masyarakat-sipil-gugat-eksploitasi-benih-lobster
Add a Comment